MESIR - Ketika kita mendengar kampung Laemate, pasti yang terpikir dibenak kita khususnya bagi suku Pakpak dan Boang* adalah Air Mati. Karena nama kampung ini diambil dari asal bahasa boang sendiri. Lae yang berarti Air dan Mate berarti mati. Nama kampung ini selalu menjadi pertanyaan bagi masyarakat yang baru mendengarnya. Karena pada dasarnya kampung Laemate adalah kampung yang airnya hidup dan tidak mati.
Lain lagi pendapat perorangan dengan mengatakan bahwa air mati itu benar telah terjadi di kampung Laemate pada masa perang melawan penjajahan Belanda. Sehingga kaum muslimin bisa menyeberangi sungai yang telah beku seperti es. Namun sampai sekarang belum ada data kongkrit asal mula nama kampung Laemate yang dakui oleh sejarah. Tapi yang jelas kampung Laemate adalah termasuk salah satu kampung yang mempunyai sejarah panjang dan penduduk terbanyak di sekitar daerah aliran sungai (DAS) di wilayah Kota Subulussalam sampai ke Aceh Singkil.
Sejarah Kampung Laemate.
Kampung Laemate merupakan salah satu daerah yang sangat jauh dari keramaian atau boleh juga dikatakan daerah pedalaman. Karena untuk mengunjungi kampung ini tidaklah mudah, harus menempuh dua jalur darat dan jalur air. Kedua jalur ini wajib ditempuh oleh siapa saja yang ingin mengunjungi kampung tersebut.
Pada awalnya daerah ini bukanlah satu kampung. Tapi hanya segelintir penduduk saja yang tinggal di kawasan ini. Namun dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan bercocok tanam maka dibuatlah suatu perkampungan yang diberi nama Laemate.
Kampung ini sudah ada sejak zaman Belanda. Bahkan jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda, kampung ini juga sudah ada. Bukti ini bisa dilihat dari adanya bangunan rumah tua, makam-makam para syuhada terdahulu dan lain-lain. Dan di desa ini juga tidak jauh dari makam Syeikh Hamzah Al-Fansuri seorang ulama besar pada zaman dahulu kala. Terletak di kampung Oboh yang sampai saat ini masih kokoh dan berdiri dengan megahnya.
Pada zaman dahulu, penduduk di wilayah Singkil yang sekarang telah mekar menjadi Kota Subulussalam hanya memiliki jalur transportasi air untuk menghubungkan ke daerah lain. Walaupun bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi jaraknya yang terlalu jauh membuat masyarakat wilayah ini menggunakan jalur air sebagi penghubung utama dengan daerah lain. Sehingga, untuk menuju Kota Medan, Sumatera Utara harus menempuh perjalanan berminggu-minggu lamanya.
Melalui jalur ini penduduk yang ingin ke Medan bisa menempuh tranportasi air dengan melawan arus hingga ke daerah Alas dengan perahu tanpa mesin alias dayung pada masa itu.
Dari Alas (Aceh Tenggara) saat ini.. Bisa langsung menuju daerah Karo, dari Karo inilah nafas segar sudah mulai bisa dirasakan, Karena daerah ini tersedia jalan untuk menuju Kota Medan dengan mudah dan cepat. Bisa anda bayangkan bagaimana sedih dan capeknya nenek– nenek kami dahulu? Namun itulah perjuangan hidup.
Kampung Laemate juga tidak asing lagi bagi daerah Aliran sungai (DAS), karena kampung ini merupakan daerah terpanjang dan terpadat penduduknya di sekitar aliran sungai, Bahkan sampai saat ini tercatat penduduknya lebih dari seribu orang. Hidup bermasyarakat dalam menjalankan adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.
Penghasilan Penduduk.
Penghasilan utama penduduk kampung Laemate adalah bertani. Dan ini merupakan mata pencaharian pokok dari masyarakat setempat. Sehingga nama bulan dikarang oleh penduduk kampung ini tanpa melenceng dari makna 12 bulan yang ada di dunia ini.
Misalnya saja bulan Ramadhan. Penduduk di kampung ini menyebutnya dengan bulan Puasa. Begitu juga Syawal disebut bulan Khe Khaya yang berarti Hari Raya, dan banyak lagi istilah di kampung-kampung. Nama pengalihan bulan seperti ini, khususnya di Laemata sendiri adalah untuk menyesuaikan dengan keadaan alam dalam bercocok tanam. Karena dalam bertani harus mempunyai bulan tertentu.
Bila salah dalam menanam maka banjir akan datang, sehingga penghasilan masyarakat bisa jadi akan hilang dan lenyap. Karena daerah aliran sungai sudah menjadi kebiasaan banjir setiap tahunnya dan di bulan-bulan tertentu.
Selain bertani, daerah ini juga terdapat penghasilan yang lain dan bisa menambah pendapatan penduduk setempat, seperti, karet, ikan, kelapa, kayu dan komoditas hasil bumi lainnya.
Pendidikan.
Tidak kalah saingnya juga, kampung ini telah mempunyai sarana pendidikan seperti sekolah dasar (SD) dan Pesantren “Hubbul Wathan.” Di setiap pelosok sampai nan jauh ke ujung kampung, anak-anak terlihat dengan semangat belajar pagi dan sore.
Pagi hari mereka pergi ke sekolah dasar dan siangnya belajar di pesantren. Biasanya kalau sudah mendapat Ijazah setingkat Ibtidaiyah atau SD, kebanyakan para siswa/i melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan pindah keluar daerah.
Pesantren di kampung ini sudah berumur lebih kurang 25 tahun, dan ini menjadi kebanggaan di suatu kampung yang bisa dengan bahu membahu dan gotong royong bersama membangun sebuah tempat belajar pendidikan agama.
Selain pesantren, sarana pengajian khusus kaum bapak dan kaum ibu juga tersedia di berbagai tempat, dan ini merupakan kewajiban bagi Mareka untuk mengikutinya demi memahami agama Allah. Seperti Thariqat Naqsabandiah, amalan khalwat suluk, dan diringi dengan pengajian amalan dan tata cara shalat, serta amalan penting lainnya terhadap kaum bapak dan ibu di kampung ini.
Jika melirik kembali ke masalah pendidikan. Tercatat dalam sejarah kampung ini, banyak siswa/i yang menuntut ilmu keluar di berbagai tempat di daerah lain. Mereka juga telah menghasilkan banyak kader khususnya di bidang agama. Seperti belajar ke Pesantren Tanah Merah, kuliah di Fakultas STAIS Kota Subulussalam, USU atau IAIN Medan, IAIN Banda Aceh, UGM Jogjakarta, dan bahkan ada yang sudah sampai menembus ke Benua Afrika, di Mesir.
Hal ini sangat menjadi dukungan dan motifasi ke depan bagi para para orang tua untuk memberikan motifasi anak-anak mereka demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Adat Istiadat.
Budaya dan adat istiadat merupakan salah satu ciri khas di manapun suatu penduduk itu tinggal. Dan masing-masing penduduk mempunyai adat istiadat yang berbeda, walaupun di sana-sini kita menemui ada sejumlah persamaan, namun persamaan itu pastinya mempunyai perbedaan.
Kampung Leamate mempuanyai adat istiadat tersendiri. Seperti dalam hal meminang, terlihat dari kaum laki-laki harus membawa beberapa peralatan kampung yang dibalut dengan kain berkilat. Di dalam kain itu tersedia sirih, tempat kapur yang terukir indah, rokok, dan lain-lain. Ini nantinya akan dihidangakan di depan keluarga mempelai perempuan untuk makan sirih atau merokok di sela-sela bercerita dan bersendagurau.
Selain itu, terdapat juga Tari Dampeng. Tari Dampeng ini merupakan tarian adat di wiliyah Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Bila mana ada suatu pesta tanpa dihibur dengan Tari Dampeng sepertinya acara pesta tersebut kurang sempurna dan tari ini merupakan bumbu dalam setiap acara pesta pernikahan dan sunat rasul.
Desa Laemate Sudah Mati ?
Mungkin ucapan ini sangat aneh bila kita mendengarnya. Tapi inilah fakta yang harus ditangisi. Dengan deraian air mata pada tahun 2002 sekitar tanggal 20 bulan??? kampung ini harus ditinggalkan oleh penduduknya sampai sekarang. Bukan kesengajaan dan keinginan untuk meninggalkannya, tapi inilah taqdir Allah Yang Maha Kuasa.
Aceh dengan tuduhan separatisnya yang selalu dilontarkan oleh Indonesia Jawa pada masa itu membuat penduduk Laemate harus mengungsi. Karena untuk bertahan hidup tidak mungkin lagi. Perang berkecamuk antara GAM dan RI. Tidak ada jalan kecuali mengungsi. Hal yang serupa juga dialami oleh kampung tetangga. Bahkan saat itu tercatat lebih dari 18 kampung yang harus segera ditinggalkan oleh penduduknya.
Jadilah Kampung Laemate Baru.
Setelah teromabang-ambing lebih dari 6 bulan dapatlah satu kesimpulan bahwa masyarakat Kampung Laemate baru mendapatkan setapak tanah untuk membangun kembali rumah untuk bertahan hidup dan tentunya membangun sebuah kampung mereka yang dimulai dari nol. Kampung yang dulunya mereka miliki dengan dihiasi keindahan masjid, sarana sekolah, musalla dan lain-lain. Namun saat ini semua dihiasi dengan ranting-ranting pohon dan daun-daun yang masih segar dan harus diratakan dengan tanah.
Namun, di balik semua kisah ini tersimpan banyak hikmah dan pelajaran khususnya bagi masyarakat Kampung Laemate sendiri.
Demikianlah sebuah kisah suatu kampung yang sangat jauh dari perkotaan, Namun kesabaran untuk bertahan hidup saat ini kampung tersebut sudah mulai membangun, baik dari pemberdayaan masyarakat, pembangunan sarana sekolah, jalan umum, masjid, mushalla, pembangunan rumah penduduk, baik dari BRR maupun dari BRA. Dan banyak lagi bantuan yang lain telah diberikan oleh pemerintah kepada penduduk Laemate tersebut. Dan semoga kampung ini bisa menjadi kampung yang amar makruf dan nahi munkar.
Note - Suku Boang adalah suku mayoritas di Kota Subulussalam. Di Laemate sendiri hanya terdapat suku Boang saja. Sedangkan suku Pakpak termasuk salah satu suku yang ada dikota Subulussalam.. Selain suku tersebut masih banyak suku yang lainnya seperti Aceh, Padang, Jame dan lain-lain.
Penulis adalah Malim Sempurna Aktivis World Acehnese Association ( WAA )
Kampung Laemate DI Subulussalam
Friday, July 17, 2009
If you enjoyed this article or have any suggestions, then ⊱⊱
Add your Comment, Fave It, Share It, and Spread the
Add your Comment, Fave It, Share It, and Spread the
Follow Me on Twitter !
Related Posts : Nanggroe Aceh,
SEJARAH
Label:
Nanggroe Aceh,
SEJARAH
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment