lllll

Mahasiswa Aceh Mesir Mendapat Informasi Perkembangan Syariat Islam di Aceh

Wednesday, July 29, 2009

MESIR - Setelah beberapa hari yang lewat mahasiswa Aceh Mesir hadir temu ramah dengan Prof. DR. Tgk. H. Azman Ismail. MA. Kali ini, sebelum beliau berangkat meninggalkan mesir untuk pulang ke Aceh, sebuah pertemuan umum untuk seluruh mahasiswa Aceh Mesir kembali di laksanakan.

Dialog kali ini terlihat sangat seru, karena selain dialognya dengan para Professor yang berpengaruh di Aceh, beliau juga senior para mahasiswa Aceh Mesir yang sudah lama menyelesaikan program doktor di bumi para nabi tersebut.

Dialog ini juga di istilahkan oleh pembawa acara “Riza Fadhli” dengan istilah dialog duet abang letting yaitu, Prof. DR. Tgk. H. Azman Ismail. MA. Dan Prof. DR. Tgk. H. Muslim Ibrahim.MA, yang telah lama meninggalkan Mesir.

Dialog yang diadakan pada hari senin 30 Juni 2009 di Meuligoe KMA Mesir itu di mulai pukul 18.00 sampai 22.00 sangat menarik perhatian bagi mahasiswa aceh yang hadir pada acara tersebut, apalagi pembicaranya sendiri adalah sesepuh Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir.

Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA, yang akrab di sapa dengan Pak Muslim ini, turut menjadi pembicara pada pertemuan tersebut, beliau membahas tentang perkembangan syari’at islam di Aceh, apa saja yang telah berjalan, serta qanun yang sedang di rancang dan lain-lain.

Dalam penyampaiannya, pak Muslim mengatakan bahwa syari’at islam yang sedang berjalan di Aceh saat ini sudah mulai nampak terlihat hasilnya. Dan, masyarakatpun sedikit demi sedikit sudah bisa memahaminya syari’at islam itu sendiri, walaupun belum berjalan sepenuhnya.

Pak Muslim juga memaparkan, bahwa syari’at islam yang sedang di jalankan saat ini sangat menjadi perhatian banyak pihak, baik perorangan maupun atas nama organisasi.

Bahkan, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri ikut memantau perkembangan syari’at islam yang sedang berjalan di Aceh sekarang ini.

Setelah Pak Mulem mengakhiri Syarahannya tentang berbagai perkembangan tentang syaria’t islam di Aceh, selanjutnya, dengan hormat, pembawa acara mengarahkan micropon ke pada Prof. DR. Tgk. H. Azman Ismail, MA.

Dalam penyampiannya, Prof. DR. Tgk. H. Azman Ismail mengatakan bahwa syari’at islam yang telah di paparkan oleh Pak Muslim tadi sudah sangat mencukupi. Maka, Oleh sebab itu, Tgk Azman atau yang akrab di sapa dengan Pak Azman, kali ini memberikan materi lebih mengarah kepada nasehat untuk mahasiswa aceh yang sedang belajar di Mesir.

Banyak nasehat yang diberikan oleh beliau dalam dialog tersebut, antara lain adalah, harapan kepada seluruh mahasiswa aceh di Mesir untuk lebih rajin belajar dan cepat-cepat pulang ke Aceh yang mulia. Harapan besar masyarakat aceh adalah agar alumni timur tengah yang nantinya pulang akan bisa membimbing mereka di bidang agama.

Selain itu, Pak Azman juga berpesan kepada seluruh mahasiswa aceh di mesir agar ketika pulang nanti jangan lupa membawa ijazah dengan nilai yang memuaskan.

Sesi Pertanyaan
Setelah kedua tokoh Aceh tersebut memaparkan materi yang begitu jelas dan memuaskan, maka sesi pertanyaan di berikan kesempatan kepada mahasiswa yang menyimpan uneg-uneg dalam hati untuk tidak segan-segan mengutarakannya.

Diantara pertanyaan yang di jawab oleh Bapak Muslim adalah tentang daerah perbatasan, yang di mana beliau mengatakan, bahwa, daerah perbatasan adalah daerah yang bermasalah.

Permasalahan di sini di sebebkan karena tombak-tombak kristenisasi dari luar Aceh, ada di perbatasan. Namun, beliau mengatakan bahwa para da’i perbatasanpun sudah kita kirim kesana, dengan tujuan membimbing dan mempertebal aqidah penduduk yang yang tinggal wilayah perbatasan tersebut.

Jawaban yang lain juga di jelaskan oleh beliau, yaitu metode menjadi seorang da’i atau seorang penceramah agama. Pak Muslim dengan gaya ceramahnya memberikan metode apa saja yang layak untuk kita jadikan sebagai sandaran saat pulang nanti dan berbau dengan masyarakat.

Pak Muslim bahkan turut memperagakan gaya berceremah, dan sangat menyentuh qalbu, penuh dengan hikmah, dan mudah untuk di pahami para pendengar.

Di akhir kalam, Pak Muslim berpesan kepada seluruh mahasiswa aceh yang sedang menuntut ilmu di Mesir ini untuk lebih giat belajar, beliau mengatakan bahwa pengganti kami nanti tidak ada yang lain kecuali kalian yang menuntut ilmu di timur tengah ini.

Kalau di bidang umum saat ini sudah banyak mahasiswa Aceh yang belajar di Eropa, Amerika, Australia, Korea dan lain-lain. Tapi, kalau di bidang agama harapan besar masyarakat aceh adalah alumni timur tengah, baik dari Mesir, Sudan, Arab Saudi dan lain-lain.

Berita ini sudah pernah di muat di waa-aceh.org

Penulis adalah Akitifis World Achehnese Association (WAA), Mahasiswa Fakultas Al-Azhar Mesir.
Read More »

Wajah - Wajah Perabadan Aceh

Wajah, bahasa, hingga berbagai jenis makanan di Nanggroe Aceh Darussalam dipengaruhi juga oleh Negara Timur Tengah, India dan beberapa daerah di Sumatra. Dalam bidang Agama, Islam merupakan Agama mayoritas, dan merupakan Propinsi penganut Agama Islam terbesar di Indonesia. Karena pada zaman dahulu, Aceh dikenal sebagai Tempat Pertama Penyebaran Agama Islam di Nusantara, juga pada masa lampau orang-orang yang akan menunaikan Ibadah Haji di kumpulkan di Aceh terlebih dahulu untuk diberangkatkan ke Mekkah, sehingga Aceh terkenal sebagai "Serambi Mekkah".

Dikarenakan Agama Islam yang begitu dominan didaerah ini, maka sedikit banyaknya berpengaruh pada bidang kehidupan Masyarakat di NAD, antara lain aturan pemakaian jilbab untuk busana wanita Islam di wajibkan disini.

Dalam bidang Kebudayaan, Provinsi NAD sendiri terdapat banyak sekali suku-suku Aceh yang tersebar di berbagai Kabupaten/Kota di Provinsi NAD, dan tentunya melahirkan kebudayaan yang beraneka-ragam, dari jenis bahasa, adat-istiadat, hingga beraneka-ragam kesenian daerah.

Suku-suku di Provinsi NAD tersebut antara lain yaitu:

1. Suku Aceh dengan bahasa Aceh, yaitu penduduk dari Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, dan Kabupaten Bireuen.

2. Suku Aneuk Jamee dengan bahasa Aneuk Jamee yang terdengar seperti bahasa Minang, yaitu penduduk dari Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kabupaten Nagan Raya.

3. Suku Kluet, yang mendiami sebagian kecil dari Kabupaten Aceh Selatan, yaitu Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah dan Kecamatan Kluet Timur.

4. Suku Tamiang dengan bahasa Aceh Tamiang yang hampir seperti bahasa Melayu, yaitu bahasa dari penduduk di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Timur, dan Kota Langsa.

5. Suku Gayo, dengan bahasa Gayo dari penduduk Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah (Takengon), dan Kabupaten Bener Meriah.

6. Suku Alas, yaitu bahasa Alas dari penduduk Kabupaten Aceh Tenggara.

7. Suku Haloban, dari penduduk Kabupaten Aceh Singkil Kepulauan (Pulau Banyak).

8. Suku Julu termasuk kelompok suku pak pak boang, yaitu penduduk dari Aceh Singkil daratan dan Kota Subulussalam. Suku pak pak boang berasal dari Sumatra Utara.

9. Suku Devayan, yaitu penduduk yang mendiami Pulau Simeulue di Kecamatan Teupah Barat, Teupah Selatan, Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan Salang.

10. Suku Sigulai, yaitu penduduk yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara, yaitu kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Alafan, dan juga mendiami sebagian desa di Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam, dan juga Kecamatan Simeulue Tengah.

Jenis makanan di NAD pada umumnya cenderung pedas (spicy), dan banyak menggunakan rempah-rempah (bumbu masak) yang kuat, sehingga cita rasanya sangat khas, seperti gulai itik, sayur pliek u, ataupun gulai aceh asam sunti. Ada pula makanan yang berasal dari India, seperti masakan kari (kare) dan roti cane, serta beberapa masakan khas dari kabupaten/kota di Provinsi NAD lainnya.

sumber : http://www.visitaceh.com/
Read More »

Mahasiswa Berprestasi dan Bidang Kaligrafi Temu Ramah Dengan DR. Tgk. Azman di KMA Mesir

Friday, July 17, 2009

MESIR - Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir ( KMA). Tahun ini memang kerap di kunjungi oleh Pejabat dan Instansi dari Pemerintah Aceh, bahkan di bulan-bulan terakhir ini Mahasiswa Aceh selalu membuat acara dengan para tama-tamu yang berkunjung ke bumi seribu menara tersebut.

Setelah sebulan yang lewat kedatangan tamu dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ( DPRA), walaupun pertemuan dengan para pejabat DPRA tersebut mendapat boikotan dari mahasiswa Aceh Mesir. Namun demikian, beberapa mahasiswa Aceh turut hadir dalam acara yang diadakan oleh pejabat tingggi aceh itu.

Pemboikotan tersebut sebenarnya di sebabkan banyak hal, antara lain karena kedatangan para anggota dewan tersebut tidak mengkonformasikan sebelumnya kepada Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir, dan acara yang diadakan biasanya di meuligoe Aceh, malah kali ini para anggota dewan tersebut mengadakannya di tempat yang tidak pernah di adakan oleh mahasiswa Aceh sebelumnya.

Dan, pemboikotan ini juga lebih mengarah kepada ke perihatinan Mahasiswa Aceh Mesir kepada masyarakat Aceh. Karena keberangkatan para anggota dewan tersebut penuh dengan kecaman dari masyarakat Aceh sendiri.

Temu ramah dengan DR. Tgk. Azman
Temu ramah dengan DR. Tgk. Azman atau lebih di kenali dengan imam Masjid Baiturrahman Banda Aceh, lebih di khususkan kepada mahasiswa yang berperastasi dan bidang kaligrafi, karena memiliki kesempatan besar untuk mereka mendapatkan beasiswa bagi yang benar-benar berprestasi untuk di sekolah di bidang kusus tersebut yaitu seni kaligrafi.

Untuk bidang kal grafi ini sendiri telah diadakan tes langsung pada tanggal 22 juni yang lalu, dan para peminatnya cukup banyak walaupun yang diambil nantinya hanya sedikit.
Angin segar ini datang sehubungan dengan kempanye pendidikan Pemerintah Aceh yang ingin membangun aneuk Nanggroe ini lebih mengarah kepada pendidikan yang lebih baik yang sehingga nantinya Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh bisa di kendalikan sendiri oleh bangsa aneuk Nanggroe yang mulia ini.

Temu Ramah bersama dengan DR. Tgk. Azman ini mendapat sambutan hangat dari 10 orang mahasiswa Aceh di Mesir yang berprestasi tinggi dan 5 orang dari seni kaligrafi.

Interview dalam bahasa arab Juga diadakan langsung oleh DR. Tgk. Azman dengan para mahasiswa tersebut.

Selain menguji kelincahan bahasa mahasiswa aceh yang ada di bumi seribu menara itu, sekaligus sebagai pertanggung jawaban beliau saat menyerahkan nama-nama ke 15 orang tersebut nantinya, dan sekaligus sebagai bukti bahwa beliau telah berjumpa dengan para duta-duta Aceh yang akan mendapat beasiswa natinya. “tutur DR.Tgk. Azman”

Hasil dari interview ini nanti akan di serahkan langsung oleh DR. Tgk. Azman ke Komisi Beasiswa Aceh untuk di musyawarahkan di sana katanya. Namun beliau mengatakan insya allah nama-nama yang tercantum tersebut akan di terima oleh Komisi Beasiswa Aceh, tanpa menyebutkan jumlah beasiswa yang akan diberikan nantinya.

Selama acara dua jam ini ya itu dari jam 8.00 sampai jam 10.00 selepas magrib, kesempatan bertanya kepada 15 mahasiswa tersebut di berikan secara leluasa untuk menanyakan berbagai hal, sebaliknya pertanyaan-pertanyan juga di lontarkan oleh DR.Tgk. Azman tentang keadaan dan kehidupan Pelajar Aceh Mesir.

Acara temu ramah pada sabtu 17 juni 2009 ini turut di hadiri oleh Ketua Majlis Syura KMA Tgk. H. Amri Fatmi Lc, Dan ketua Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir Tgk. Yusri Nouval. Lc.

Di ujung acara DR. Tgk. Azman mengungkapkan insya allah sebelum saya dan Prof. DR. Muslim Ibrahim. MA Kembali ke tanah air, di harapkan kami dapat kembali melakukan pertemuan dengan Keluarga Masyarakat Aceh Mesir.

Selain datang ke Meuligoe Aceh Mesir, ulama Aceh ini juga hadir sebagai tamu yang mulia ke Universitas Al-Azhar Mesir dalam acara muktamar Al-Azhar yang di hadiri oleh para alumninya dari seluruh dunia.

Penulis adalah Akitifis World Achehnese Association (WAA), Mahasiswa Fakultas Al-Azhar Mesir.
Read More »

Da’i Perbatasan dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat di Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kawasan di Asia yang memiliki berbagai Qanun tentang Syari’at Islam.

Hingga sampai saat ini, Syari’at Islam itu sendiri ada yang sudah berjalan dengan benar, dan ada yang masih dalam tahap awal.

Bila melirik dari administrasi pemerintahan Aceh terdapat beberapa instansi yang membidangi khusus tentang Syari’at Islam. hal ini bisa dilihat dari lembaga ke islaman yang ada di sana, seperti polisi Syari’at Islam, lembaga adat, da’i perbatasan dan lainnya.

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kawasan di Asia yang memiliki berbagai Qanun tentang Syari’at Islam.

Hingga sampai saat ini, Syari’at Islam itu sendiri ada yang sudah berjalan dengan benar, dan ada yang masih dalam tahap awal.

Bila melirik dari administrasi pemerintahan Aceh terdapat beberapa instansi yang membidangi khusus tentang Syari’at Islam. hal ini bisa dilihat dari lembaga ke islaman yang ada di sana, seperti polisi Syari’at Islam, lembaga adat, da’i perbatasan dan lainnya.

Hal yang sangat menarik di sana adalah da’i perbatasaan. Meraka memiliki tugas kusus dalam menjalankan amanah Allah SWT. Kegiatan yang terpuji ini bertujuan untuk memahamkan dan mempertebal aqidah penduduk yang tinggal di perbatasan tersebut.

Tugas mereka mengajak orang-orang kepada jalan yang benar, mengadakan pengajian bagi kaum bapak dan kaum ibu serta para anak muda setempat. Para da’i tersebut juga harus mengusai berbagai persoalan apalagi jika harus berhadapan dengan warga yang di luar islam, sudah tentu di butuhkan kebijakan yang mulia sehingga para non muslim yang tinggal di perbatasan ini tertarik kepada ajaran islam dengan hati yang ikhlas.

Menegakkan agama Allah memang banyak tantangan dan rintangan yang akan dihadapi, apalagi wilayah perbatasan merupakan daerah rawan kristenisasi dan missionaris lainya.

Hal ini terbukti di salah satu pesantren yang terletak di kota Subulussalam, pada suatu ketika di mana salah seorang pendatang yang mengaku dirinya beragama islam, sehingga sempat diangkat sebagai ustadz atau staf pengajar.

Akhirnya setelah beberapa bulan mengajar, maka diketahui status orang tersebut non muslim yang ingin mengelabui pesantren dan menjalankan misinya di sana. Inilah salah satu yang perlu dibentengi terhadap penduduk yang tinggal di wilyah perbatasan tersebut.

Bila membaca sejarah para ulama terdahulu, dalam menegakkan agama Allah sangat banyak tantangan dan ringatang serta makian yang mereka hadapi. Begitu juga dengan para da’i yang bertugas di perbatasan ini, mereka banyak mendapat teror dan ancaman di berbagai tempat. Apalagi masyarakat yang belum mengerti akan agama, hal ini sangat mungkin terjadi.

Sebagai contoh, ketika para da’i berceramah di masjid, sekelompok pemuda bereteriak keras dari laur, dengan menunjukkan ketidak senangan mereka akan hal demikian.

Hal yang serupa juga terjadi pada da’i yang lain, misalnya di wilayah Kota Subulussam. Orang yang tak dikenal meletakkan botol minuman keras di depan pintu rumah da’i, plus surat peringatan, tapi maklum saja di mana ada orang baik, pasti ada yang jahat.

Maka dalam hal inilah, para da’i tersebut sebelum turun kelapangan diberi bekal dan metode dalam bermasyarakat, serta pemahaman dan penjelasan bagaimana tugas seorang da’i. lebih-lebih lagi bila di tempatkan di wilayah yang penduduknya masih sangat awam tentang nilai-nilai islam..

Untuk lebih mempercepat kinerja para da’i perbatasan tersebut, sarana transportasi seperti honda bebek juga disediakan bagi mareka. Sehingga tugas dan amanah yang mereka laksanakan berjalan dengan cepat dan mencapai target yang di inginkan,

hingga saat ini, para da’i perbatasan tersebut mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat, karena mereka bekerja full time baik pagi, siang, maupun malam hari. Apalagi kehadiran para penda’i di kampung-kampung akan sangat membantu para ustadz, guru, serta imam dan tokoh masyarakat yang ada di sana.

Para masyarakat banyak yang berkomentar, bahwa anak-anak mereka telah berubah dari hasil didikan dan bimbingan para da’i tersebut. Apalagi mereka yang telah di islamkan, bahkan bagi yang tidak mampu, langsung dapat melanjutkan pendidikan secara gratis dari pemda setempat yang dibiayai oleh Badan Amal Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS).

Hingga sampai saat ini, sudah banyak para muallaf yang dihasilkan dari kinerja para da’i perbatasan tersebut dan jumlahnya sudah mencapai ratusan bahkan hampir ribuan, jumlah ini hanya baru di wilayah kota Subulussalam dan Aceh Singkil saja.

Da’i perbatasan ini memang jarang terdengar, bahkan di telinga rakyat Aceh sendiri, karena mereka bertugas hanya di daerah yang berbatasan langsung dengan Sumtera Utara (SUMUT). Jadi, mereka hanya lebih dikenal oleh orang yang tinggal di perbatasan Aceh saja.

Daerah yang berbatasan langsung dengan propinsi Sumatra Utara tersebut yaitu Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang. Empat kabupaten kota inilah para da’i tersebut ditugaskan dan mareka biasanya mendapat kontrak dua tahun. Setelah masa kontrak selesai, maka bisa mengajukan tes ulang bila ingin melanjutkan kinerja sebagai da’i untuk tahun berikutnya.

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Al-Azhar Cairo/Aktivis World Acehnese Association (WAA). YM (malim_sempurna2)
Read More »

Kampung Laemate DI Subulussalam

MESIR - Ketika kita mendengar kampung Laemate, pasti yang terpikir dibenak kita khususnya bagi suku Pakpak dan Boang* adalah Air Mati. Karena nama kampung ini diambil dari asal bahasa boang sendiri. Lae yang berarti Air dan Mate berarti mati. Nama kampung ini selalu menjadi pertanyaan bagi masyarakat yang baru mendengarnya. Karena pada dasarnya kampung Laemate adalah kampung yang airnya hidup dan tidak mati.

Lain lagi pendapat perorangan dengan mengatakan bahwa air mati itu benar telah terjadi di kampung Laemate pada masa perang melawan penjajahan Belanda. Sehingga kaum muslimin bisa menyeberangi sungai yang telah beku seperti es. Namun sampai sekarang belum ada data kongkrit asal mula nama kampung Laemate yang dakui oleh sejarah. Tapi yang jelas kampung Laemate adalah termasuk salah satu kampung yang mempunyai sejarah panjang dan penduduk terbanyak di sekitar daerah aliran sungai (DAS) di wilayah Kota Subulussalam sampai ke Aceh Singkil.


Sejarah Kampung Laemate.

Kampung Laemate merupakan salah satu daerah yang sangat jauh dari keramaian atau boleh juga dikatakan daerah pedalaman. Karena untuk mengunjungi kampung ini tidaklah mudah, harus menempuh dua jalur darat dan jalur air. Kedua jalur ini wajib ditempuh oleh siapa saja yang ingin mengunjungi kampung tersebut.

Pada awalnya daerah ini bukanlah satu kampung. Tapi hanya segelintir penduduk saja yang tinggal di kawasan ini. Namun dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan bercocok tanam maka dibuatlah suatu perkampungan yang diberi nama Laemate.

Kampung ini sudah ada sejak zaman Belanda. Bahkan jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda, kampung ini juga sudah ada. Bukti ini bisa dilihat dari adanya bangunan rumah tua, makam-makam para syuhada terdahulu dan lain-lain. Dan di desa ini juga tidak jauh dari makam Syeikh Hamzah Al-Fansuri seorang ulama besar pada zaman dahulu kala. Terletak di kampung Oboh yang sampai saat ini masih kokoh dan berdiri dengan megahnya.

Pada zaman dahulu, penduduk di wilayah Singkil yang sekarang telah mekar menjadi Kota Subulussalam hanya memiliki jalur transportasi air untuk menghubungkan ke daerah lain. Walaupun bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi jaraknya yang terlalu jauh membuat masyarakat wilayah ini menggunakan jalur air sebagi penghubung utama dengan daerah lain. Sehingga, untuk menuju Kota Medan, Sumatera Utara harus menempuh perjalanan berminggu-minggu lamanya.

Melalui jalur ini penduduk yang ingin ke Medan bisa menempuh tranportasi air dengan melawan arus hingga ke daerah Alas dengan perahu tanpa mesin alias dayung pada masa itu.

Dari Alas (Aceh Tenggara) saat ini.. Bisa langsung menuju daerah Karo, dari Karo inilah nafas segar sudah mulai bisa dirasakan, Karena daerah ini tersedia jalan untuk menuju Kota Medan dengan mudah dan cepat. Bisa anda bayangkan bagaimana sedih dan capeknya nenek– nenek kami dahulu? Namun itulah perjuangan hidup.

Kampung Laemate juga tidak asing lagi bagi daerah Aliran sungai (DAS), karena kampung ini merupakan daerah terpanjang dan terpadat penduduknya di sekitar aliran sungai, Bahkan sampai saat ini tercatat penduduknya lebih dari seribu orang. Hidup bermasyarakat dalam menjalankan adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.

Penghasilan Penduduk.

Penghasilan utama penduduk kampung Laemate adalah bertani. Dan ini merupakan mata pencaharian pokok dari masyarakat setempat. Sehingga nama bulan dikarang oleh penduduk kampung ini tanpa melenceng dari makna 12 bulan yang ada di dunia ini.

Misalnya saja bulan Ramadhan. Penduduk di kampung ini menyebutnya dengan bulan Puasa. Begitu juga Syawal disebut bulan Khe Khaya yang berarti Hari Raya, dan banyak lagi istilah di kampung-kampung. Nama pengalihan bulan seperti ini, khususnya di Laemata sendiri adalah untuk menyesuaikan dengan keadaan alam dalam bercocok tanam. Karena dalam bertani harus mempunyai bulan tertentu.

Bila salah dalam menanam maka banjir akan datang, sehingga penghasilan masyarakat bisa jadi akan hilang dan lenyap. Karena daerah aliran sungai sudah menjadi kebiasaan banjir setiap tahunnya dan di bulan-bulan tertentu.
Selain bertani, daerah ini juga terdapat penghasilan yang lain dan bisa menambah pendapatan penduduk setempat, seperti, karet, ikan, kelapa, kayu dan komoditas hasil bumi lainnya.

Pendidikan.

Tidak kalah saingnya juga, kampung ini telah mempunyai sarana pendidikan seperti sekolah dasar (SD) dan Pesantren “Hubbul Wathan.” Di setiap pelosok sampai nan jauh ke ujung kampung, anak-anak terlihat dengan semangat belajar pagi dan sore.

Pagi hari mereka pergi ke sekolah dasar dan siangnya belajar di pesantren. Biasanya kalau sudah mendapat Ijazah setingkat Ibtidaiyah atau SD, kebanyakan para siswa/i melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan pindah keluar daerah.

Pesantren di kampung ini sudah berumur lebih kurang 25 tahun, dan ini menjadi kebanggaan di suatu kampung yang bisa dengan bahu membahu dan gotong royong bersama membangun sebuah tempat belajar pendidikan agama.

Selain pesantren, sarana pengajian khusus kaum bapak dan kaum ibu juga tersedia di berbagai tempat, dan ini merupakan kewajiban bagi Mareka untuk mengikutinya demi memahami agama Allah. Seperti Thariqat Naqsabandiah, amalan khalwat suluk, dan diringi dengan pengajian amalan dan tata cara shalat, serta amalan penting lainnya terhadap kaum bapak dan ibu di kampung ini.

Jika melirik kembali ke masalah pendidikan. Tercatat dalam sejarah kampung ini, banyak siswa/i yang menuntut ilmu keluar di berbagai tempat di daerah lain. Mereka juga telah menghasilkan banyak kader khususnya di bidang agama. Seperti belajar ke Pesantren Tanah Merah, kuliah di Fakultas STAIS Kota Subulussalam, USU atau IAIN Medan, IAIN Banda Aceh, UGM Jogjakarta, dan bahkan ada yang sudah sampai menembus ke Benua Afrika, di Mesir.

Hal ini sangat menjadi dukungan dan motifasi ke depan bagi para para orang tua untuk memberikan motifasi anak-anak mereka demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Adat Istiadat.

Budaya dan adat istiadat merupakan salah satu ciri khas di manapun suatu penduduk itu tinggal. Dan masing-masing penduduk mempunyai adat istiadat yang berbeda, walaupun di sana-sini kita menemui ada sejumlah persamaan, namun persamaan itu pastinya mempunyai perbedaan.

Kampung Leamate mempuanyai adat istiadat tersendiri. Seperti dalam hal meminang, terlihat dari kaum laki-laki harus membawa beberapa peralatan kampung yang dibalut dengan kain berkilat. Di dalam kain itu tersedia sirih, tempat kapur yang terukir indah, rokok, dan lain-lain. Ini nantinya akan dihidangakan di depan keluarga mempelai perempuan untuk makan sirih atau merokok di sela-sela bercerita dan bersendagurau.

Selain itu, terdapat juga Tari Dampeng. Tari Dampeng ini merupakan tarian adat di wiliyah Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Bila mana ada suatu pesta tanpa dihibur dengan Tari Dampeng sepertinya acara pesta tersebut kurang sempurna dan tari ini merupakan bumbu dalam setiap acara pesta pernikahan dan sunat rasul.

Desa Laemate Sudah Mati ?

Mungkin ucapan ini sangat aneh bila kita mendengarnya. Tapi inilah fakta yang harus ditangisi. Dengan deraian air mata pada tahun 2002 sekitar tanggal 20 bulan??? kampung ini harus ditinggalkan oleh penduduknya sampai sekarang. Bukan kesengajaan dan keinginan untuk meninggalkannya, tapi inilah taqdir Allah Yang Maha Kuasa.

Aceh dengan tuduhan separatisnya yang selalu dilontarkan oleh Indonesia Jawa pada masa itu membuat penduduk Laemate harus mengungsi. Karena untuk bertahan hidup tidak mungkin lagi. Perang berkecamuk antara GAM dan RI. Tidak ada jalan kecuali mengungsi. Hal yang serupa juga dialami oleh kampung tetangga. Bahkan saat itu tercatat lebih dari 18 kampung yang harus segera ditinggalkan oleh penduduknya.

Jadilah Kampung Laemate Baru.

Setelah teromabang-ambing lebih dari 6 bulan dapatlah satu kesimpulan bahwa masyarakat Kampung Laemate baru mendapatkan setapak tanah untuk membangun kembali rumah untuk bertahan hidup dan tentunya membangun sebuah kampung mereka yang dimulai dari nol. Kampung yang dulunya mereka miliki dengan dihiasi keindahan masjid, sarana sekolah, musalla dan lain-lain. Namun saat ini semua dihiasi dengan ranting-ranting pohon dan daun-daun yang masih segar dan harus diratakan dengan tanah.
Namun, di balik semua kisah ini tersimpan banyak hikmah dan pelajaran khususnya bagi masyarakat Kampung Laemate sendiri.

Demikianlah sebuah kisah suatu kampung yang sangat jauh dari perkotaan, Namun kesabaran untuk bertahan hidup saat ini kampung tersebut sudah mulai membangun, baik dari pemberdayaan masyarakat, pembangunan sarana sekolah, jalan umum, masjid, mushalla, pembangunan rumah penduduk, baik dari BRR maupun dari BRA. Dan banyak lagi bantuan yang lain telah diberikan oleh pemerintah kepada penduduk Laemate tersebut. Dan semoga kampung ini bisa menjadi kampung yang amar makruf dan nahi munkar.

Note - Suku Boang adalah suku mayoritas di Kota Subulussalam. Di Laemate sendiri hanya terdapat suku Boang saja. Sedangkan suku Pakpak termasuk salah satu suku yang ada dikota Subulussalam.. Selain suku tersebut masih banyak suku yang lainnya seperti Aceh, Padang, Jame dan lain-lain.

Penulis adalah Malim Sempurna Aktivis World Acehnese Association ( WAA )
Read More »